Jumat, 16 Agustus 2013

USULAN PENELITIAN PENGARUH PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF TERHADAP PENURUNAN KADAR BILIRUBIN PADA NEONATUS IKTERUS DI RUANG CEMPAKA BARAT RSUP SANGLAH DENPASAR 2012


USULAN PENELITIAN
PENGARUH PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF TERHADAP PENURUNAN KADAR BILIRUBIN PADA NEONATUS IKTERUS DI RUANG CEMPAKA BARAT
RSUP SANGLAH DENPASAR
2012


Oleh :
NI NENGAH SUARYAPATNI
NIM.   KP.03.10.028


AKADEMI KEPERAWATAN KESDAM IX/UDAYANA
DENPASAR
2013


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar  Belakang Penelitian
      Kesehatan bayi dan ibu merupakan indikator untuk sebuah Negara dapat dikatakan maju, banyak hal  yang dapat mempengaruhi kesehatan ibu dan bayi. Tidak dipungkiri banyak ibu kurang paham akan kesehatan bayinya yang baru lahir. Terkait dengan keadaan bayi baru lahir, kebanyakan bayi baru lahir mengalami kuning atau dalam ilmu keperawatan disebut ikterus. Ikterus adalah warna kuning yang dapat terlihat pada sklera, selaput lender, kulit, atau organ lain akibat penumpukan bilirubin. Ikterus fisiologi adalah ikterus yang terjadi karena metabolism normal bilirubin pada bayi baru lahir usia minggu pertama. Peningkatan kadar bilirubin terjadi pada hari ke-2 dan ke-3 dan mencapai puncaknya pada hari ke-5 sampai hari ke-7, kemudian menurun kembali pada hari ke-10 sampai hari ke-14 (Surasmi, 2003).
Walaupun kuning pada bayi baru lahir merupakan keadaan yang relatif tidak berbahaya, tetapi pada usia inilah kadar bilirubin yang tinggi dapat menjadi toksik dan berbahaya terhadap sistim saraf pusat bayi. Ikterus dengan konsentrasi bilirubin yang tinggi, yang serumnya mungkin menjurus kearah terjadinya kernicterus bila kadar bilirubin tidak dikendalikan. Kernikterus ialah ensefalopati bilirubin yang biasanya ditemukan pada neonatus cukup bulan dengan ikterus berat (bilirubin indirek lebih dari 20 mg%) dan disertai penyakit hemolitik berat dan pada autopsy ditemukan bercak bilirubin pada otak  (Surasmi, 2003).  
Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65% mengalami ikterus. Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan. Di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58%  untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/dL. Berdasarkan data yang didapat di RSUP Sanglah Denpasar didapatkan data angka kejadian hiperbilirubin selama bulan Januari sampai November 2012 tercatat 196 kasus hiperbilirubin dengan kejadian  hiperbilirubin yang paling tinggi pada bulan November sebanyak 33 kasus.
Oleh karena itu mengendalikan kadar bilirubin pada bayi baru lahir dapat dilakukan dengan  pemberian minum sedini mungkin dengan jumlah cairan dan kalori yang mencukupi. Pemberian minum sedini mungkin akan meningkatkan motilitas usus dan juga menyebabkan bakteri introduksi ke usus. Bakteri dapat mengubah bilirubin direk menjadi urobilin yang tidak dapat diabsorpsi kembali. Dengan demikian, kadar bilirubin serum akan turun. Pemberian minum yang cukup dapat membantu pemenuhan kebutuhan glukosa pada neonatus. Makanan yang terbaik bagi neonatus adalah ASI karena ASI mempunyai manfaat yang besar bagi neonatus pada periode transisi. Kandungan yang dibutuhkan neonatus dalam ASI adalah antibodi, protein, karbohidrat, lemak dan vitamin. Sebagian bahan yang terkandung dalam ASI yaitu beta glukoronidase akan memecah bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam lemak, sehingga bilirubin indirek akan meningkat dan kemudian akan diresorbsi oleh usus (Surasmi, 2003).
Dari latar belakang diatas dapat disimpulkan bahwa terjadinya warna kuning atau ikterus pada bayi baru lahir merupakan keadaan yang relatif tidak berbahaya tapi  jika tidak mendapatkan penanganan yang tepat  akan menyebabkan bayi mengalami ikterus patologi yang berlanjut pada kernicterus, jadi peran orang tua sangatlah penting untuk menanggulangi ikterus pada neonatus. Oleh karena itu penulis tertarik untuk membuat judul “Pengaruh Pemberian ASI Eksklusif terhadap Penurunan Kadar Bilirubin pada Neonatus Ikterus Di Ruang Cempaka Barat RSUP Sanglah Tahun 2012”.

B.     Rumusan Masalah atau Identifikasi Masalah
Bagaimana pengaruh pemberian ASI eksklusif terhadap penurunan kadar bilirubin pada  neonatus ikterus di ruang Cempaka Barat RSUP Sanglah Denpasar 2012?

C.     Tujuan Penelitian
1.      Tujuan umum :
Mengetahui pengaruh pemberian ASI eksklusif terhadap penurunan kadar bilirubin pada neonatus ikterus di ruang Cempaka Barat RSUP Sanglah  Denpasar  2012
2.      Tujuan Khusus :
a.    Mengidentifikas karakteristik ibu dalam pemberian ASI.
b.   Mengidentifikasi pengaruh pemberian ASI pada neonatus ikterus.
c.    Menganalisa pengaruh pemberian ASI pada penurunan kadar bilirubin.

D.    Kegunaan  Penelitian atau Manfaat Penelitian
1.      Manfaat Praktis :
      Hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan  ibu dalam mengenal dan merawat bayi baru lahir yang mengalami ikterus.
2.      Manfaat Teoritis :
a.    Hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan penelitian selanjutnya.
b.   Bermanfaat bagi mahasiswa Akper Kesdam IX Udayana untuk  menambah wawasan dan pengetahuan tentang pengaruh pemberian ASI pada bayi baru lahir terhadap penurunan kadar bilirubin pada neonatus ikterus.

 
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.     ASI
      Air susu ibu ialah makanan pilihan utama untuk bayi (Bobak, 2005). Bayi normal sudah dapat disusui segera sesudah lahir. Lamanya disusui hanya untuk satu sampai dua menit pada setiap payudara ibu. Dengan mengisapnya bayi akan terjadi rangsang terhadap pembentukan air susu ibu dan secara tidak langsung rangsangan hisap membantu mempercepat pengecilan uterus (Wiknjo, 2006). Air Susu Ibu (ASI) adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa dan garam-garam anorganik yang sekresi oleh kelenjar mamae ibu, yang berguna sebagai makanan bagi bayinya. ASI eksklusif adalah pemberian ASI tanpa makanan dan minuman tambahan lain pada bayi berumur 0 – 6 bulan (Proverawati, 2010).
1.      Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian ASI
Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan ASI ialah karakteristik ibu antara lain :
a.       Umur Ibu
Umur yaitu usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun. Semakin cukup umur maka tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja ( Arini, 2012).
Dalam kurun waktu reproduksi sehat dikenal usia aman untuk kehamilan, persalinan, dan menyusui adalah 20-35 tahun. Oleh sebab itu, yang sesuai dengan masa reproduksi sangat baik dan sangat mendukung dalam pemberian ASI eksklusif,sedangkan umur yang kurang dari 20 tahun dianggap masih belum matang secara fisik, mental, dan psikologi dalam menghadapi kehamilan, persalinan, serta pemberian ASI. Umur lebih dari 35 tahun dianggap berbahaya, sebab baik alat reproduksi maupun fisik ibu sudah jauh berkurang dan menurun, selain itu bisa terjadi risiko bawaan pada bayinya dan juga dapat meningkatkan kesulitan pada kehamilan, persalinan dan nifas (Arini, 2012).
b.      Pendidikan
Tingkat pendidikan ibu yang rendah mengakibatkan kurangnya pengetahuan ibu dalam menghadapi masalah,terutama dalam pemberian ASI eksklusif. Pengetahuan ini diperoleh baik secara formal maupun informal. Sedangkan ibu-ibu yang mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi, umumnya terbuka menerima perubahan atau hal-hal guna pemeliharaan kesehatanya. Pendidikan juga akan membuat seseorang terdorong untuk ingin tahu mencari pengalaman sehingga informasi yang diterima akan menjadi  pengetahuan (Arini, 2012).
Pendidikan dan kebebasan informasi membuat para wanita masa kini lebih berani memasuki wilayah pekerjaan lain yang dapat memberdayakan kemampuan dirinya secara maksimal sehingga ibu tidak dapat memberikan ASI eksklusif (Arini, 2012).
c.       Paritas
Paritas adalah jumlah anak yang pernah dilahirkan oleh seorang ibu. Paritas dalam menyusui adalah pengalaman pemberian ASI eksklusif, menyusui pada kelahiran anak sebelumnya, kebiasaan menyusui dalam keluarga, serta pengetahuan tentang manfaat ASI berpengaruh terhadap keputusan ibu untuk menyusui atau tidak. Dukungan dokter, bidan, atau petugas kesehatan lainnya, juga kerabat dekat sangat dibutuhkan terutama untuk yang pertama kali hamil. Dalam pemberian ASI eksklusif, ibu yang pertama kali menyusui pengetahuannya terhadap pemberian ASI eksklusif belum berpengalaman dibandingkan dengan ibu yang sudah berpengalaman menyusui anak sebelumnya (Arini, 2012).
d.      Pekerjaan
Dengan terbukanya kesempatan bekerja dan tuntutan untuk bekerja membantu ekonomi keluarga maka sebagian ibu-ibu memilih bekerja di luar rumah. Dengan bekerja ibu tidak dapat berhubungan penuh dengan bayinya, akibatnya ibu cenderung memberikan susu formula dan diberikan melalui botol, menyebabkan frekuensi penyusuan akan berkurang dan produksi ASI akan menurun. Keadaan ini menyebabkan ibu menghentikan pemberian ASI. Jadi, seorang ibu yang bekerja kemungkinan menyusui bayinya secara eksklusif menurun drastis.
e.       Pengetahuan
Menurut Arini (2012) pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu, pengindraan terjadi melalui panca indra manusia yaitu penglihatan, penciuman, pendengaran, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Proses terbentuknya keterampilan seseorang untuk bertindak perilaku baru terutama pada orang dewasa dimulai dari aspek kognitif, obyek sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada subjek yang selajutnya akan menimbulkan respon lebih jauh lagi berupa tindakan.
2.      Zat-zat gizi dalam ASI
Disamping mengandung berbagai macam zat anti yang melindungi bayi terhadap berbagai macam antigen dan mikroba, ASI juga mengandung zat-zat gizi yang penting dalam pencegahan maupun penatalaksanaan diare, yaitu :
a.       Protein ASI lebih rendah dari protein susu sapi, keadaan ini sesuai untuk pertumbuhan bayi dan ginjal bayi. Tetapi walaupun kuantitas proteinnya rendah, tetapi kualitasnya lebih baik daripada protein susu sapi.
b.      Lemak ASI lebih tinggi daripada lemak susu sapi, terutama asam lemak tak jenuh (asam linoleat), asam lemak rantai panjang (arachidonat dan dekadeksanoat) dan kolesterol. Bentuk emulsi lemak disini lebih sempurna karena ASI mengandung enzim lipase yang memecah trigliserida menjadi digliserida dan monogliserida. Sehingga lemak ASI lebih mudah dicerna dan diserap. Disamping itu lemak ASI merupakan sumber kalori dan sumber vitamin yang larut dalam lemak (vitamin A, D, E, K).
c.       Karbohidrat pada ASI terutama laktosa, dimana laktosa pada ASI ini lebih tinggi dibanding susu sapi, yang memerlukan sumber kalori bagi bayi. Adanya faktor bifikus pada ASI, membantu memecah laktosa menjadi asam laktat, sehingga tercipta suasana asam. Suasana asam dalam ini memberikan beberapa keuntungan,  yaitu :
1)      Menghambat pertumbuhan bakteri yang pathogen
2)      Memacu pertumbuhan bakteri yang memproduksi asam organic dan mensintesis vitamin
3)      Memudahkan absopsi kalsium, sehingga walaupun laktose pada ASI lebih tinggi daripada susu sapi, pada penderita diare ASI dapat diteruskan.
d.      Vitamin pada ASI
ASI tidak mengandung vitamin B-12 dan asam folat yang bebas, karena pada ASI terdapat nutrient-karier protein yang mengikat vitamin B-12 dan asam folat, sehingga B-12 dan folat tidak tersedia untuk pertumbuhan E.coli dan bakterioid.
e.       Mineral pada ASI
Yang penting disini adalah sebagian besar Fe di dalam ASI terikat dengan protein, sehingga selain absorpsinya lebih mudah juga kuman yang memerlukan Fe sukar untuk berkembangbiak (Soetjiningsih, 2006).
3.      Keuntungan ASI
Menyusui memberi banyak keuntungan : nutrisi, imunologi, dan psikologi. Menurut Worthington Roberts, menyusui memiliki keuntungan-keuntungan berikut :
a.       Bayi mendapatkan immunoglobulin untuk melindunginya dari banyak penyakit dan infeksi.
b.      Bayi lebih jarang menderita infeksi telinga dan saluran pernapasan atas.
c.       Bayi lebih jarang mengalami diare dan penyakit saluran cerna lainnya.
d.      Risiko bayi mendapatkan diabetes juvenile menurun.
e.       Bayi memiliki lebih sedikit kemungkinan untuk menderita limfoma tipe tertentu.
f.       Jenis protein yang ditelan mengurangi kemungkinan  timbulnya reaksi alergi.
g.      Bayi yang disusui memiliki lebih sedikit masalah dengan pemberian makan yang berlebihan akibat “ harus menghabiskan susu botol”.
h.      Insiden bayi untuk mengalami obesitas dan hipertensi pada masa dewasa menurun.
i.        Tidak perlu mencuci botol, menyiapkan formula, dan tidak menyimpannya dilemari es.
j.        Organ-organ reproduksi ibu akan lebih cepat kembali ke keadaan sebelum hamil.
k.      Menyusui meningkatkan kontak dekat antara ibu-anak (Bobak, 2005).


B.     PASI (Pengganti ASI)
Pemberian susu formula (PASI) merupakan alternative pemberian susu yang berhasil pada beberapa keadaan tertentu, termasuk keadaan-keadaan berikut :
a.       Keluarga memutuskan untuk tidak menyusui bayi atau ibu tidak mampu menyusui karena suatu penyakit.
b.      Jadwal ibu tidak memungkinkan menyusui bayinya.
c.       Formula khusus dibutuhkan karena bayi alergi atau memerlukan suatu makanan tertentu.
d.      Memberi tambahan makanan bagi bayi yang ibunya kadang-kadang tidak dapat menyusui.
e.       Melengkapi ASI jika produksi susu ibu tidak mencukupi.
f.       Bayi adopsi.
Susu formula harus menjadi pilihan jika ibu mengidap infeksi aktif, seperti tuberculosis, lesi sifilis, pada payudara atau AIDS. Alasan medis susu formula direkomendasikan berdasarkan kebutuhan nutrisi bayi, preferensi orang tua, biaya, kebutuhan susu untuk dibekukan,kenyamanan, dan kemampuan orangtua untuk menyiapkan susu formula dengan akurat dan aman (Bobak, 2005).


C.    Bilirubin
1.      Pengertian
Bilirubin adalah produk penguraian hemoglobin dari sel darah merah. Zat besi dari sel darah merah didaur-ulang. Hem, yaitu pigmennya yang diuraikan oleh makrofag sistem retikuloendotel menjadi biliverdin dan kemudian bilirubin. Bilirubin tidak terkojugasi (tidak langsung : indirek) bersifat tidak larut dan tidak dapat diekskresikan. Zat ini diangkut oleh albumin plasma ke hati untuk di metabolisme menjadi bilirubin terkonjugasi (langsung ; direk), yang larut. Konjugasi melibatkan pengikatan gula glukuronida ke bilirubin untuk membentuk bilirubin diglukuronat. Bilirubin terkonjugasi diekskresikan ke dalam empedu dan feses. Di usus, bilirubin terkonjugasi mengalami metabolisasi lebih lanjut oleh flora bakteri untuk menghasilkan urobilin dan sterkobilin (yang memberikan warna khas pada tinja). Sebagian produk pemecahan metabolisme bilirubin oleh bakteri mengalami dekonjugasi dan diserap melalui dinding usus untuk didaur ulang. Sejumlah kecil bilirubin juga diekskresikan melalui ginjal (Coad, 2007)
2.       Metabolisme bilirubin
Meningkatnya kadar bilirubin dapat disebabkan produksi yang berlebihan. Sebagian besar bilirubin berasal dari destruksi eritrosit yang menua. Pada neonatus 75% bilirubin berasal dari mekanisme ini. Satu gram hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin indirek (free bilirubin) dan bentuk inilah yang dapat masuk ke dalam jaringan otak dan menyebabkan kernikterus. Sumber lain kemungkinan besar dari sumsum tulang dan hepar, yang terdiri dari dua komponen, yaitu komponen non-eritrosit dan komponen eritrosit yang terbentuk dari eritropoesis yang tidak sempurna.
Pembentukan bilirubin diawali dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin. Setelah mengalami reduksi biliverdin menjadi bilirubin bebas, yaitu zat yang larut dalam lemak dan sulit larut dalam air. Bilirubin ini mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melewati membran biologik seperti plasenta dan sawar otak. Di dalam plasma bilirubin bebas tersebut terikat/ bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar. Dalam hepar terjadi mekanisme ambilan sehingga bilirubin terikat oleh reseptor membran sel hepar dan masuk ke dalam hepotosit. Di dalam sel bilirubin akan terikat dan bersenyawa dengan ligandin (protein Y), protein Z dan glutation S-transferase membawa bilirubin ke reticulum endoplasma hati. Di dalam sel hepar berkat adanya enzim glukorinil transferase, terjadi proses konjugasi bilirubin yang menghasilkan bilirubin direk, yaitu bilirubin yang larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresi melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi diekskresikan melalui duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan. Selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar bersama feses sebagai sterkobilin. Di dalam usus terjadi proses absorpsi enterohepatik, yaitu sebagian kecil bilirubin direk dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan direabsorpsi kembali oleh mukosa usus.
Peningkatan kadar bilirubin pada hari-hari pertama kehidupan, dapat terjadi pada sebagian besar neonatus. Hal ini disebabkan karena tingginya kadar eritrosit neonatus dan umur eritrosit lebih pendek (30-90%), dan fungsi hepar yang belum matang. Hal ini merupakan keadaan yang fisiologi. Pada liquor amnion yang normal dapat ditemukan bilirubin pada kehamilan 12 minggu, kemudian menghilang pada kehamilan 36-37 minggu. Pada inkompatibilitas darah Rh, kadar bilirubin amnion dapat dipakai untuk memperkirakan beratnya hemolisis. Peningkatan bilirubin amnion juga terdapat pada obstruksi usus janin. Bagaimana bilirubin sampai ke cairan amnion belum diketahui dengan jelas. Akan tetapi, kemungkinan besar melalui mukosa saluran napas dan saluran cerna. Dengan demikian, hampir semua bilirubin pada janin dalam bentuk bilirubin indirek dan mudah melalui plasenta ke sirkulasi ibu dan diekskresikan oleh hepar ibunya (Surasmi, 2003).
 
3.      Faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan peningkatan kadar bilirubin
a.       Faktor Maternal
1)      Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American, Yunani)
2)      Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO, dan Rh)
3)      Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.
b.      Faktor Perinatal
1)      Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)
2)      Infeksi (bakteri, virus, protozoa)
c.       Faktor Neonatus :  prematuritas
d.      Faktor genetik
1)      Polisitemia
2)      Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, dan sulfisoxazol)
3)      Rendahnya asupan ASI
4)      Hipoglikemia
5)      Hipoalbuminemia (Widyaningsih, 2012)

D.    Neonatus Ikterus
1.      Pengertian
      Neonatus adalah masa kehidupan pertama di luar rahim sampai dengan 28 hari, dimana terjadi perubahan yang sangat besar dari kehidupan didalam rahim menjadi diluar rahim. Ikterus adalah pewarnaan kuning yang tampak pada sklera dan kulit yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin. Neonatus ikterus merupakan warna kuning pada kulit dan sclera pada masa kehidupan pertama di luar rahim sampai dengan 28 hari (Safrudin, 2007).  
     Warna kuning biasanya akibat didalam kulit terjadi akumulasi pigmen bilirubin yang larut-lemak, tak terkonjugasi, nonpolar (bereaksi indirek) yang dibentuk dari hemoglobin oleh kerja heme oksigenasi, biliverdin reduktase, dan agen pereduksi nonenzimatik dalam sel retikuloendotelial, dapat juga sebagian disebabkan oleh endapan pigmen sesudah pigmen ini didalam mikrosom sel hati diubah oleh enzim asam uridin difosfoglukuronat (uridin phosphoglucuronic acid {UDPGA}) glukuronil transferase menjadi bilirubin ester glukuronida yang polar, larut dalam air (bereaksi-direk). Bentuk tak terkonjugasi ini bersifat neurotoksik bagi bayi pada kadar tertentu dan pada berbagai keadaan. Bilirubin terkonjugasi tidak neurotoksik tetapi menunjukkan kemungkinan terjadi gangguan yang serius. Kenaikan bilirubin ringan dapat mempunyai sifat antioksidan (Behrman, 2000).
2.      Etiologi
Metabolisme bilirubin bayi baru lahir berada dalam transisi dari stadium janin yang selama waktu tersebut  plasenta merupakan tempat utama eliminasi bilirubin yang larut-lemak, ke stadium dewasa, yang selama waktu tersebut bentuk bilirubin terkonjugasi yang larut-air diekskresikan dari sel hati ke dalam system biliaris dan kemudian ke dalam saluran pencernaan. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dapat disebabkan atau diperberat oleh beberapa faktor-faktor,  yaitu :
a.       Menambah beban bilirubin untuk dimetabolisasi oleh hati (anemia hemolitik, waktu hidup sel darah menjadi pendek akibat imaturitas  atau akibat sel yang ditransfusikan. Penambahan sirkulasi enterohepatik, infeksi)
b.      Dapat mencederai atau mengurangi aktivitas enzim transferase (hipoksia,infeksi kemungkinan hipotermia dan defisiensi tiroid)
c.       Dapat berkompetisi dengan atau memblokade enzim transeferase (obat-obatan dan bahan lain yang memerlukan konjugasi asam glukuronat untuk diekskresi )
d.      Menyebabnya tidak adanya atau berkurangnya enzim yang diambil atau menyebabkan pengurangan reduksi bilirubin oleh sel hepar (cacat genetic, prematuritas).
Resiko pengaruh toksik dari meningkatnya kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum menjadi bertambah dengan adanya faktor- faktor yang mengurangi retensi bilirubin dalam sirkulasi ( hipoproteinemia, perpindahan bilirubin dari tempat ikatannya pada albumin karena ikatan konpetitif obat-obatan seperti surfisoksazol dan moksalaktam, asidosis, kenaikan sekunder kadar asam lemak bebas akibat hipoglikemia, kelaparan atau hipotermia), atau oleh faktor-faktor yang meningkatan permeabililitas sawar darah otak atau membrane sel saraf terhadap bilirubin atau kerentanan sel otak terhadap toksisitasnya seperti asfiksia, prematuritas, hiperosmolaritas, dan infeksi. Pemberian makan yang awal menurunkan kadar bilirubin, sedangkan ASI dan dehidrasi menaikan kadar bilirubin serum. Mekonium mengandung 1 mg bilirubin dan dapat turut menyebabkan ikterus dalam sirkulasi enterohepatik pasca-dekonjugasi oleh glukuronidasi usus. Obat-obatan seperti oksitosin dan bahan kimia yang diberikan dalam ruang perawatan seperti deterjen fenol dapat juga menimbulkan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi (Behrman, 2000).
3.      Klasifikasi Ikterus
a.      Ikterus fisiologis
Pada lingkunagan normal, kadar bilirubin dalam serum tali pusat yang beraksi-indirek adalah 1-3 mg/dL dan naik dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dL/24 jam, dengan demikian, ikterus dapat dilihat pada hari ke-2 sampai hari ke-3, biasanya berpuncak antara hari ke-2 dan hari ke-4 dengan kadar 5-6 mg/dL dan menurun sampai di bawah 2 mg/dL antara umur hari ke-5 dan ke-7. Ikterus yang disertai denga perubahan-perubahan ini disebut “fisiologis” dan diduga akibat kenaikan produksi bilirubin pasca pemecahan sel darah merah janin dikombinasikan dengan keterbatasan sementara konjugasi bilirubin oleh hati.
Secara keseluruhan, 6-7% bayi cukup bulan mempunyai kadar bilirubin indirek lebih besar dari 12,9 mg/dL, dan kurang dari 3% mempunyai kadar yang lebih besar dari 15 mg/dL. Faktor resiko untuk mengalami hiperbilirubinemia indirek meliputi : diabetes pada ibu, ras (Cina, Jepang, Korea, dan Amerika Asli), prematuritas, obat-obatan (vitamin K3,novobiosin), tempat yang tinggi, polisitemia, jenis kelamin laki-laki, trisomi-21, mamar kulit, sefalhematom, induksi oksitosin, pemberian ASI, kehilangan berat badan (dehidrasi atau kehabisan kalori), pembentukan tinja lambat, dan ada saudara yang mengalami ikterus fisiologis. Bayi-bayi tanpa variabel ini jarang mempunyai kadar bilirubin indirek diatas 12 mg/dL, sedangkan bayi yang mempunyai banyak risiko lebih mungkin mempunyai kadar bilirubin yang lebih tinggi. Kadar bilirubin indirek pada bayi cukup bulan menurun sampai menjadi kadar orang dewasa (1 mg/dL) pada umur 10-14 hari. Hiperbilirubinemia indirek persisten sesudah 2 minggu memberi kesan hemolisis, defisiensi glukuronil transferase heredite, ikterus ASI, hipotiroidism, atau obstruksi usus. Ikterus yang disertai dengan stenosis pylorus mungkin karena kehabisan kalori,defisiensi UDP-glukuronil transferase hati, atau kenaikan sirkulasi bilirubin enterohepatik akibat ileus.
Pada bayi premature kenaikan bilirubin serum cenderung sama atau sedikit lebih lambat daripada kenaikan bilirubin pada bayi cukup bulan tetapi jangka waktunya lebih lama, yang biasanya mengakibatkan kadar yang lebih tinggi; puncaknya dicapai antara hari ke-4 dan hari ke-7; gambarannya bergantung pada waktu yang diperlukan bayi preterm untuk mencapai mekanisme matur dalam metabolisme dan ekskresi bilirubin. Biasanya kadar puncak 8-12 mg/dL tidak dicapai sebelum hari ke-5 sampai hari ke-7 dan ikterus jarang diamati sesudah hari ke-10 (Behrman, 2000).
b.      Ikterus patologis 
Ikterus dan hiperbilirubinemia yang mendasarinya dianggap patologis bila waktu  pemunculannya. Lamanya atau pola kadar bilirubin serum yang ditentukan secara seri berbeda secara bermakna dari pola ikterus fisiologis; atau jika perjalannya sesuai dengan ikterus fisiologis namun ada alasan lain untuk mencurigai bahwa bayi mempunyai risiko khusus terhadap neurotoksisitas dari bilirubin yang tak terkonjugasi. Tidak mungkin untuk menentukan dengan tepat etiologi kenaikan abnormal bilirubin yang tak terkonjugasi. Banyak bayi demikian yang mempunyai faktor risiko terkait ras Asia, prematuritas, minum ASI, kehilangan berat badan; karena istilah ikterus fisiologis yang berlebihan dan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir digunakan untuk bayi-bayi yang masalah primernya mungkin adalah defisiensi atau inaktivitas glukuronil tranferase bukannya beban bilirubin yang berlebih untuk diekskresikan.
Risiko hiperbilirubinemia dibuhungkan dengan perkembangan kernikterus (ensefalopati bilirubin) pada kadar bilirubin indirek serum yang tinggi. Kadar bilirubin serum yang disertai dengan kernikterus sebagian bergantung pada etiologi ikterus. Kernikterus berkembang pada kadar bilirubin yang lebih rendah pada bayi preterm dan pada keadaan asfiksia, hemolisis, atau obat-obatan yang memisahkan bilirubin dari albumin. Kernikterus tidak biasa terjadi pada penderita ikterus karena ASI (Behrman, 2000).
BAB III
KERANGKA KONSEP

A.     Kerangka Konsep

Pemberian ASI eksklusif
 

Kadar bilirubin setelah diberikan ASI:
-          Kadar bilirubin meningkat > 5mg/dL/24 jam
-          Kadar bilirubin tetap
-          Kadar bilirubin turun <5 mg/dL/24 jam
 
Text Box: Neonatus  ikterus 







Keterangan :
                                    : Mempengaruhi


 
                                    : Diteliti
                                    : Tidak Diteliti
Gambar 3.1 : Kerangka Konseptual Pengaruh Pemberian ASI eksklusif
terhadap penurunan kadar bilirubin pada neonatus ikterus
di Ruang Cempaka Barat RSUP Sanglah
Denpasar 2012
B.      Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah dapat dihasilkan “ada pengaruh pemberian ASI eksklusif terhadap penurunankan kadar bilirubin pada neonatus ikterus di Ruang Cempaka Barat RSUP Sanglah Denpasar 2012”

C.    Identifikasi Variabel  Definisi Operasional
1.      Identifikasi Variabel
Variable mengandung pengertian ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota-anggota suatu kelompok yang berbeda dengan  yang dimiliki oleh kelompok yang lain (Notoatmodjo, 2005).
a.       Variabel bebas atau variabel interdependen :
Pemberian ASI eksklusif
b.      Variabel terikat atau dependen :
Penurunan kadar bilirubin pada neonatus ikterus
2.      Definisi Operasional Variabel
Merupakan Penjelasan tentang pengertian dari variabel yang diteliti ,cara penelitian dan cara pengamatan /mengukur masing-masing variabel.






Table 3.1 Variable penelitian dan definisi operasionalPengaruh Pemberian ASI  Terhadap Penurunan Kadar Bilirubin Pada Bayi Ikterus di
Ruang Cempaka Barat RSUP Sanglah 2012
No
Variable penelitian
Definisi operasional
Instrumen
Alat ukur

Skala
1
Pemberian ASI eksklusif
Air susu ibu ialah makanan pilihan utama untuk bayi. Bayi normal sudah dapat disusui segera sesudah lahir. ASI ksklusif adalah epemberian ASI tanpa makanan dan minuman tambahan lain pada bayi berumur 0 – 6 bulan.
Wawancara
Menggunakan kuesioner, dengan mengajukan beberapa pertanyaan.
Hasil akhir dapat diukur dengan mengetahui kapan ibu menyusui :
-          Pemberian ASI nilainya 1
-          Pemberian PASI nilainya 0

Nominal
2
Penurunan kadar bilirubin pada bayi ikterus
Bilirubin adalah produk penguraian hemoglobin dari sel darah merah. Dan Ikterus adalah pewarnaan kuning yang tampak pada sklera dan kulit yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin
Observasi 
Melakukan perbandingan kadar bilirubin pada bayi ikterus yang  diberikan ASI.
Hasil akhir dapat diukur dengan :
-          Kadar bilirubin meningkat, jika   >5mg%/dL/24jam nilainya 1
-          Kadar bilirubin tetap nilainya 2
-          Kadar bilirubin menurun , jika < 5 mg/dL/24 jam, nilainya 3
Ordinal

BAB IV
METODE PENELITIAN

A.    Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimental dengan rancangan  penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh sebab akibat dengan adanya keterlibatan dalam melakukan manipulasi terhadap variable bebas. Berdasarkan tujuan penelitian peneliti menggunakan rangcangan penelitian eksperimen semu (quasy-experiment). Penelitian ini menggungkapkan  sebab akibat dengan melibatkan kelompok control disamping kelompok eksperimental, tapi pemilihan kedua kelompok ini tidak menggunakan teknik acak. Rancangan ini biasanya menggunakan kelompok subjek yang telah terbentuk secara wajar (teknik rumpuk), sehingga sejak awal bisa saja kedua kelompok subjek telah memiliki karakteristik yang berbeda (Nursalam, 2008)






Table 4.1 : Rancangan penelitian eksperimen semu (quasy-experiment)
Subyek
Pra
Perlakuan
Pasca test

K-A
K-B

O
O
Time 1

I
-
Time 2

O1-A
O1-B
Time 3






Keterangan :
K-A                 : subyek (neonatus ikterus ) perlakukan
K-B                 : subjek (pemberian ASI ) kontrol
O                     : observasi perilaku sebelum pemberian ASI
I                       : intervensi pemberian ASI
O1(A+B)         : observasi kadar bilirubin setelah diberikan ASI (kelompok perlakuan dan kontrol)


B.     Tempat dan Waktu Penelitian  
Tempat penelitian di ruang Cempaka Barat (Perinatalogi) RSUP Sanglah Denpasar, waktu yang akan dilakukan penelitian bulan Februari- Maret 2013.

C.    Poulasi, Sampel, dan Teknik Sampling
1.      Populasi
Populasi penelitian atau universal adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti (Notoadmodjo, 2005). Adapuan populasi yang digunakan dalam penelitian adalah seluruh bayi yang mengalami ikterus di Ruang Cempaka barat RSUP Sanglah Denpasar.
2.      Sampel
Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoadmodjo, 2005).  Berdasarkan penelitian setelah menentukan jumlah sampel. Kemudian persyaratan subjek yang bisa diikut sertakan dalam penelitian ini didasarkan pada kriteria inklusi dan kriteria ekslusi.
a.       Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu populasi target yang terjangkau dan akan diteliti (Nursalam, 2009).
1)   Ibu yang memiliki neonatus ikterus umur 2 sampai 5 hari
2)   Ibu yang  memberikan ASI
3)   Ibu yang memberikan PASI
4)   Ibu yang bersedia menjadi responden.
b.       Kriteria eksklusi adalah menghilangan/mengeluarkan subjek yang memenuhi criteria inklusi dari studi kerena berbagai sebab, antara lain (Nursalam, 2009) :
1)   Ibu yang tidak memiliki bayi ikterus
2)   Neonatus yang tidak ikterus

3.      Teknik Sampling
Teknik sampling adalah cara atau teknik dalam pengambilan sampel penelitian untuk mewakili populasi. Teknik sampling ada dua yaitu sampel probabilitas (probability samples/random sample/sampel acak) dan sampel non probabilitas (non probability samples) (Notoadmodjo, 2005). Dalam penelitian ini pengambil sampel secara non probability samples yaitu Purposive sampling (judgement sampling) adalah suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti (tujuan / masalah dalam penelitian),  sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya.(Nursalam, 2008).

D.    Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
1.  Jenis Data
     Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer adalah data yang dikumpulkan oleh peneliti sendiri (Riyanto, 2010). Dalam penelitian ini data primer didapat dari hasil wawancara dan observasi pada sampel.


2.       Cara Pengumpulan Data
     Neonatus ikterus pada hari Kedua hingga hari kelima di RSUP Sanglah Denpasar adalah sampel yang akan diberikan ASI untuk mengetahui kadar bilirubin. Jumlah sampel akan diambil menggunakan teknik sampling non random dimana bayi dipilih oleh peneliti sesuai dengan yang diinginkan peneliti. Neonatus yang diberikan ASI akan diobservasi kadar bilirubinnya.

3.      Instrument Pengumpulan  Data
      Instrument penelitian yang digunakan peneliti adalah wawancara ibu yang memiliki bayi ikterus dan observasi penurunan kadar bilirubin pada neonatus ikterus dengan pemberian ASI.


E.     Pengolahan  dan Analisa Data
1.      Pengolahan data
Pengolahan data merupakan suatu cara untuk memprediksi data dan menyiapkan data sedemikian rupa agar dapat dianalisa lebih lanjut dan mendapatkan data yang siap untuk disajikan (Notoatmojo, 2002). Langkah-langkah dalam pengolahan data, yaitu :
a. Editing dimaksudkan untuk melihat apakah data yang diperoleh sudah terisi lengkap atau kurang lengkap
b.Coding, yaitu mengklasifikasikan jawaban dari responden menurut macamnya.
c. Scoring, dilakukan terhadap hasil observasi kadar bilirubin saat pre test dan post test dengan skor 3 untuk kadar bilirubin turun,skor 2 untuk kadar bilirubin tetap dan skor 1 untuk kadar bilirubin naik. Diberikan ASI skor 1, tidak diberikan ASI (PASI) skor 0.
d.                           Entry yaitu upaya untuk memasukkan data kedalam media agar peneliti mudah mencari bila diperlukan lagi. Data tersebut dimasukkan kedalam disket/CD yang telah dioleh dengan menggunakan computer.
e. Tabulating yaitu membuat tabulasi untuk pengorganisasian data yang sudah terkumpul agar mudah dijumlah, disusun dan ditata untuk disajikan serta dianalisis.

2.      Analisa Data
Melihat dari jumlah sampel pada penelitian ini dan dari data yang tersedia pada kelompok perlakuan merupakan sampel kelompok berpasangan ,maka untuk memperoleh hasil yang signifikan dalam penelitian ini menggunakan test / teknik analisa data dengan menggunakan ‘wilcoxon Sign Rank Test” (Alimul, 2007).
Pada tahap awal data yang terkumpul sebagai data pre test dan post test selanjutnya dilakukan analisa bivariate. Dimana adanya peningkatan nilai rata-rata (mean) pada hasil data pre test dan post test pada tahap awal dianalisa.
Pada tahap selanjutnya peneliti menganalisa dengan menggunakan Wilcoxon Sign Rank Test dengan menggunakan program komputer. Pada pengujian dengan menggunakan uji Wilcoxon Sign Rank Test, dimana analisis dilakukan pada data pre test dan post test. Hasil yang di tuju peneliti adalah membandingkan nilai signifikansi Probabilitas (P) dari hasil uji Wilcoxon Sign Rank Test. Di tentukan nilai signifikansi p<_ 0.05. Bila hasil perhitungan menunjukkan nilai signifikansi p<_ 0.05 berarti Ho di tolak dan hipotesis diterima sehingga ada pengaruh pemberian ASI terhadap penurunan kadar bilirubin pada neonatus ikterus di RSUP Sanglah Denpasar 2012.

F.     Masalah Etika
1.      Informed Consent
Informed Consent merupakan bentuk persetujuan antara penelitian dengan respon penelitian dengan memberikan lembaran persetujuan untuk menjadi responden dan diberikan sebelum penelitian dilakukan.
2.      Anonimity (tanpa nama)
Anonymity merupakan masalahyang memberikan jaminan dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya menulis kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan.
3.      Cofidentiality (kerahasiaan)
Cofidentiality merupakan masalah etika dengan memberikan jaminankerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset (Alimul, 2007).

DAFTAR PUSTAKA

Alimul, Aziz, 2007, Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data, Jakarta: Salemba Medika.
Arikunto, S., 2002, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT Rineka Cipta
Arini, 2012, Mengapa Seorang Ibu Harus Menyusui ?, Yogyakarta: Flash Books
Behrman, dkk., 2000, Ilmu Kesehatan Anak Nelson,Jakarta: EGC
Bobak, 2005, Buku Ajar Keperawatan Maternitas, Jakarta: EGC
Coad, Jane, 2007, Anatomy And Physiology for midwives, Jakarta:EGC
Hamilton, Persis M., 2002, Dasar-dasar Keperawatan Maternitas, Jakarta: EGC
Ilyas, Jumarni, 2002, .Asuhan Keperawatan Perinatal, Jakarta: EGC
Manuaba, I. B. G., 1998, .Ilmu Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Kebidanan, Jakarta: EGC
Mitayani, 2009, Asuhan Keperawatan Maternitas, Jakarta: Salemba Medika
Notoatmodjo, S., 2002, Metodelogi Penelitian Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta
, S., 2005, Metodelogi Penelitian Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta
Nursalam & Siti, P., 2001, Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan, Jakarta : Sagung Seto
Nursalam, 2008, Konsep dan Penerangan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, edisi 2, Jakarta: Salemba Medika
Riyanto, Agus, 2010, Pengolahan dan Analisis Data Kesehatan, Yogjakarta: Nuha Medika
Safrudin, 2007, Kebidanan Komunitas, Jakarta :EGC
Sastroasmoro, Sudigdo, 2011, Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis Edisi Ke-4, Jakarta: Sagung Seto
Soetjiningsih, 2006, Seri Gizi Klinis ASI,  Jakarta: EGC
Suradi, Runila, 2009, .Air Susu Ibu dan Ikterus, (online), available:  http://www.idai.or.id/asi/artikel.asp?q=20109693639, (tgl 10 mei 2012)
Surasmi, Asrining, 2003, Perawatan Bayi Risiko Tinggi, Jakarta: EGC
Wasis, 2008, Pedoman Riset Praktis untuk Profesi Perawat, Jakarta: EGC
Widyaningsih, Tri, 2012, Ikterus Pada Bayi Baru Lahir, (online), available:  http://bidanwidya.blogspot.com/2012/01/ikterus-kuning-pada-bayi-baru-lahir.html, (18 Januari 2012)
Wiknjo, H, 2006, .Ilmu Kebidanan, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo



                                                                                                 aya patni




Tidak ada komentar:

Posting Komentar